Jika Kita Hidup Tanpa Masa Lalu (Episode Terakhir. Titik Terang)

Azimah Nurin Nafilah
6 min readApr 26, 2023

--

Episode 4. Titik Terang

Hari-hari berlalu sangat cepat. Rai yang awalnya tidak pernah punya pengalaman jadi panitia akhirnya harus adaptasi dan menyesuaikan kecepatan kerjanya sama orang-orang yang sudah berpengalaman. Tapi lama kelamaan dia juga bisa mengikuti kecepatan mereka dan beradaptasi dengan baik. Kalau biasanya setiap keputusan yang ia ambil berdasarkan pertimbangan diri sendiri, kali ini Rai berkoordinasi dengan Dani sebagai ketua panitia dan Mas Arik sebagai streering committee. Berinteraksi dengan banyak orang membuat sudut pandang Rai semakin lebar dalam memandang sebuah masalah. Misalnya saat konsep promosi kegiatannya dikritik habis-habisan oleh Mas Arik, Rai masih bisa membuka ruang diskusi untuk mencapai kata sepakat.

Atau ketika deadline kasus koas sudah begitu dekat, mau tidak mau Rai harus mengkomunikasikan kondisinya kepada Dani dan divisinya sehingga ada beberapa tugas yang ia delegasikan kepada anggota lainnya. Perlu waktu sebentar untuk mulai adaptasi dengan kesibukan barunya. Pergi koas pagi hingga sore, rapat acara persiapan BKGN sore hingga malam, di sela-sela rutinitas itu Rai masih menyempatkan melakukan hobinya yaitu melukis. Perlahan mulai membalas chat Whatsapp Mama, meski Rai masih menolak panggilan telepon Mamanya.

Rai kerap kali bicara dengan diri sendiri bahwa keputusan bergabung bersama panitia BKGN ini tidak akan mudah, waktunya lebih banyak tersita, istirahatnya akan berkurang, bisa jadi timbul gesekan dan konflik kecil antar panitia, tapi ada banyak hal baru yang akhirnya bisa ia coba. Bertemu Mas Arik salah satunya. Rai membayangkan akan banyak bercerita dan mengobrol tips and trick cara mencapai sukses kuliah kedokteran gigi, tapi Mas Arik bilang tidak ada tips and tricknya. Mas Arik hanya bilang jalani sebaik yang kamu bisa, berteman dengan banyak orang, eksplor hal-hal yang belum pernah kamu lakukan. Kalau dipikir-pikir selama ini Rai tergolong orang yang membatasi diri sendiri. Berpikir bahwa ia tidak bisa melakukan itu, tidak perlu melakukan ini karena tidak penting, padahal cara untuk bisa mengetahui potensi diri adalah dengan berani mencoba apapun.

Rai melakukan experiment terhadap dirinya sendiri. Ia mulai menggali kekuatan dan kelebihannya, kekurangannya, peluang dan tantangan yang akan ia hadapi, hingga ia menyadari bahwa ada satu kemampuan yang harus dikembangkan yaitu kemampuan mempimpin dan berbicara di depan publik. Pas betul moment pertemuannya dengan Mas Arik, Rai belajar langsung dari ahlinya. Untuk belajar dari mentornya itu, Rai sadar diri bahwa ia perlu mendapatkan attention dari Mas Arik. Secara, Mas Arik ini orang hebat sehingga dirinya perlu bekal untuk bisa sampai pada frekuensi yang sama dengan Mas Arik. Akhirnya strategi Rai adalah pada rapat-rapat yang berlangsung Rai memberanikan diri memberi usulan, atau hanya sekadar bertanya. Tidak hanya mempelajari jobdesk divisinya tapi Rai juga mempelajari jobdesk divisi lain. Rai belajar berteman dengan baik, menjadi teman yang baik. Satu bulan terlibat aktif dalam kegiatan BKGN ini memberikan kesan positif kepada Rai, bahwa setiap orang selalu punya kesempatan baru di masa depan, bagaimanapun masa lalunya. Pertemanan yang tulus itu masih benar-benar ada di sekitarnya.

H-3 hari raya, satu tanggung jawab besar Rai akhirnya tuntas. Kasus gigi tiruan Bu Ade sudah selesai. Rai lega sekaligus haru akhirnya Bu Ade bisa lebaran dengan gigi tiruannya.

“Dokter Rai mudik hari raya ini?” tanya Bu Ade.

“Wah masih belum tahu, Bu Ade.” Rai memasang helm di kepalanya.

“Kayaknya tahun lalu Dokter juga tidak mudik ya.”

“Iya Bu saya belum pernah mudik lebaran”

“Lho kenapa Dok? Kasihan orang tuanya kangen”

“Hehe iya Bu” Rai menjawab sekenanya.

“Orang tua itu nggak mau bikin anaknya khawatir, makanya jarang bilang kalau sakit atau kangen, Dok. Aduh kok saya ngatur Dokter jadinya. Maaf ya, Dok. Pesan saya jangan lupa mudik, Dok” Bu Ade membenarkan posisi kerudungnya.

“Iya, Bu. Terima kasih pesannya. Jangan lupa juga gigi tiruannya dirawat seperti yang sudah saya jelaskan di RS tadi ya, Bu. Setelah lebaran kita bertemu lagi untuk kontrol, insyaAllah. Saya pamit ya, Bu Ade. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” Rai men-starter motornya.

“Waalaikumussalam, hati-hati Dok!” Ucap Bu Ade.

Sepanjang jalan menuju kos, Rai teringat pesan Bu Ade, pesan Roni beberapa hari yang lalu, pesan Papa Mona, tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui bahwa ada rasa rindu ingin bertemu dengan Mamanya. Ah barangkali begitulah laki-laki satu ini, padahal mengaku rindu tidak akan menunrunkan harga dirinya sedikitpun.

Ting. Pesan dari Mama sampai saat ia memarkir motor di garasi.

“Rai jadi pulang?”

Hanya dibaca. Rai masuk ke kamar kosnya, meletakkan peralatan kedokteran gigi, duduk di kursi.

Pulang atau tidak?

Apakah aku siap bertemu Mama?

Bagaimana kalau justru kami bertengkar hebat seperti dulu?

Nada dering berbunyi, panggilan masuk dari Mama.

“Waalaikumussalam, Ma.”

“Rai kalau nggak pulang, nggak apa-apa. Mama aja yang ke Surabaya.”

Sejak kapan suara Mama terdengar lembut begini?

“Halo, Rai?”

“Rai aja yang pulang, Ma.”

Malam itu Rai packing beberapa baju dan memesan tiket kereta menuju Jakarta. Sayang sekali tiket kereta sudah tidak tersedia, akhirnya Rai mencoba ke terminal untuk membeli tiket bus. Puncak arus mudik sudah terasa, beruntung masih ada tiket bus yang tersisa.

“Hai, Ma. Maaf Rai baru pulang sekarang” Rai berbicara sendiri, mempraktikkan kalimat yang akan ia ucapkan saat bertemu Mama.

“Halo, Ma. Bagaimana kabarnya? Rai kangen. Ah tidak-tidak, itu terlalu kekanak-kanakan” ucapnya lagi. Pemudik di sampingnya terheran-heran melihat Rai.

“Ma, Rai pulang. Oh tidak ini terlalu singkat” Mengulang kesekian kalinya.

Lelah berbicara sendiri, Rai tidur sambil mendekap ranselnya.

Sesampainya di Terminal Jakarta Pulo Gebang Rai menyempatkan membilas wajahnya sejenak, sebelum melanjukan perjalanan menuju rumah. Banyak hal berubah dari empat tahun lalu, kios-kios yang bertambah, jalanan makin lebar. Kemarin saat Mamanya menelpon, Rai meminta dibuatkan makanan kesukaannya sambal goring tempe petai. Lezat nian membayangkan makan sambal petai dengan nasi hangat-hangat. Perutnya keroncongan, Rai tetap puasa meski dalam perjalanan karena ia merasa masih kuat meski ia tahu ada keringanan untuk mengganti puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan.

“MasyaAllah, Rai, akhirnya inget rumah” Tiba di depan rumah, Rai disambut bibi dan sepupunya.

“Gimana kabarnya, Cing Dewi?”

“Sehat. Mamamu itulo sudah lama nungguin. Buat apa jauh-jauh sekolah dokter tapi mamanya sendiri sakit nggak diurusin!” Julidnya Cing Dewi kumat lagi. Tidak berubah. Tapi tunggu, apa maksudnya kalimat Cing Dewi?

“Masuk dulu ya, Cing.” Rai membawa koper dan ranselnya ke dalam rumah. Di sana Mamanya duduk di kursi roda.

“Ma, Mama sakit apa? Kenapa?” Rai tak kuasa menahan tangis. Ia memeluk Mamanya. Semua kalimat yang ia rencanakan menguap.

“Rai, Mama minta maaf, sudah menyakiti kamu dengan kata-kata Mama yang kejam dulu.”

“Rai sudah maafkan Mama. Kita sama-sama sembuh dari luka masa lalu itu ya, Ma. Rai akan temani Mama.”

Mama menyerahkan surat kepada Rai. Surat-surat ini ia tulis saat merindukan Rai.

“Kepada Anakku, Rai.

Selamat ulang tahun, Anakku. 20 tahun yang lalu kamu lahir sebagai hadiah dari Tuhan untuk Mama. Tapi Mama gagal menjagamu sebagai orang tua. Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu, Nak”

“Kepada Anakku, Rai.

Hari ini Mama melewati warnet tempat kamu biasa bermain. Maaf Mama pura-pura tidak khawatir saat kamu pulang terlambat malam itu. Mama sejujurnya ingin menjelaskan bahwa Mama sudah mencarimu ke semua tempat yang bisa Mama jangkau, tapi Mama urungkan. Mama tidak ingin kamu bergantung kepada Mama. Mama ingin kamu kuat dan mandiri. Maaf jika kata-kata Mama menyakiti hatimu”

Rai berderai air mata membaca surat itu. Ingatannya kembali ke masa dulu. Semua asumsi terhadap Mamanya selama ini ternyata salah. Barangkali itulah hal terbaik yang bisa Mamanya lakukan saat itu. Rai kembali memeluk Mamanya. Beberapa surat masih belum dibaca, bagi Rai surat-surat ini menjadi penawar luka, bagi Mamanya surat ini adalah curahan kerinduan dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

“Kala embun berjatuhan dari dedaunan,

Ayunanku masih bergoyang-goyang,

Dan engkau sama sekali belum terlelap,

Tiada keluh kau ucap

Tiada balas kau harap

Cintamu adalah sebab hidupnya mimpiku

Warnamu di atas kanvasku dahulu adalah merah

Kini engkau basuh dengan putihmu

Dan aku memeluk lukaku

Kita bersama bertumbuh

Engkau adalah awalku

Engkau adalah masa lampau

Senyummu menjadi doaku

Terima kasih, Mama”

TAMAT

--

--

Responses (2)